Minggu, 30 Oktober 2011

Digital Culture Membangun Budaya Indonesia

FESTIVAL merupakan salah satu perhelatan yang melibatkan individu dan komunitas tertentu dan masyarakat seluasnya yang dibungkus oleh tema dan konsep festival itu sendiri. Festival juga dapat dikatakan sebagai sebuah pesta rakyat di mana semua elemen masyarakat terlibat dalam kegiatan yang direncanakan. Demikian Bandung Wayang Festival (BWF) 2011 hadir di ruang publik Bandung dengan sajian karya-karya dwimatra, trimatra dan audio visual di Exhibitiion Hall Bale Pare – Kota Baru Parahyangan, Museum Barli, kampus ITENAS.

Saya ingin tegaskan bahwa pameran karya seni rupa dengan tema wayang dalam kegiatan BWF 2011 bukan pameran yang lazim dilaksanakan di galeri atau museum yang disertai kurasi yang ketat dan intens. Pada pameran yang diselenggarakan dalam kegiatan BWF 2011 nyaris tanpa kurasi yang serius. Hal ini dapat disimak pada pilihan karya-karya yang dikumpulkan oleh panitia penyelenggara BWF 2011 dan kemasan pamerannya. Oleh karena itu saya hanya menuliskan fenomena yang umum terjadi dalam pameran ini serta mengamati perkembangan kekaryaan beberapa seniman dan perupa yang saya kenal.

Pameran Bandung Wayang Festival 2011 – setelah melalui tahapan perubahan konsep – tidak hanya menyajikan karya-karya media baru dengan materi dan subject-matter wayang. Pada pameran Bandung Wayang Festival publik dapat mengapresiasi keberadaan wayang dalan bentangan sejarah perkembangan dunia wayang itu sendiri. Ada sebuah asumsi bahwa eksistensi dunia wayang di jaman ini ditelan digital culture dan jauh dari gaya hidup generasi muda. Faktanya tidak demikian bila kita mau sedikit berkeringat meneliti perkembangan bahasa kreatif generasi muda sekarang dengan metode pembacaan parsialnya.

Perkembangan bahasa kreatif dan cenderung estetik dengan mengapropriasi wayang sebagai objek justru banyak ditemukan dalam pameran BWF 2011. Diawali dengan sajian wayang klasik dan wayang baru dalam representasi benda seni yang dipajang. Kemudian mengapresiasi wayang yang sudah mengalami transformasi budaya juga medium artistiknya melalui karya-karya grafis, desain ilustrasi, lukisan, animasi, video art, bahkan pertunjukan wayang yang disebut kotemporer; Wayang Tavip, Wayang Bocor, dan lain-lain.

Hal yang paling krusial saya kira adalah batasan deterministik karya seni rupa tradisional dan kontemporer yang selama ini tidak tegas dan jelas-jelas merujuk pada perkembangan seni rupa di Indonesia yang diadopsi dari perkembangan seni rupa pada tahun 1980-an di Barat (Amerika). Hal ini juga berdampak pada konsep “kurasi-longgar” karya wayang yang diberi label kontemporer - berlangsung di Bale Pare Kota Baru Parahyangan dan ITENAS.

Saya melihat ada konsepsi yang dijadikan pemahaman dasar bahwa karya-karya seni rupa yang di luar pakem tradisi disebut karya kontemporer – didasarkan pada plihan medium yang digunakan perupa baik itu perlakuan wayang sebagai objek dan cara pandang perupa yang menyebabkan hasil akhirnya seperti yang dipamerkan di Exhibition Hall – Bale Pare, Kota Baru Parahyangan pada tanggal 22-24 April 2011.

Pemahaman dan batasan karya seni rupa kontemporer dalam pameran ini memang kabur dan longgar. Namun demikian saya akan berikan sedikit gambaran yang bisa jadi mengulang perdebatan wacana seni rupa kontemporer saat ini. Bahwa pemahaman seni rupa kontemporer dalam pameran ini tidak sejurus dengan apa yang dicatat oleh Julian Stallabrass sebagai berikut:

“Contemporary art seems to exist in a zone of freedom, set apart from the mundane and functional character of everyday life, and from its rules and conventions. In that zone, alongside quieter contemplation and intellectual play, there flourishes a strange mix of carnival novelty, barbaric transgressions of morals, and offences against systems of belief” (Stallabrass, 2004; 1).

Apakah wilayah ‘freedom’ itu yang dikerjakan oleh animator, desainer grafis, pelukis, komikus, videographer yang karyanya disajikan dalam pameran ini? Saya yakin beberapa melakukan pengembangan gagasan estetik dan kreatifitasnya di wilayah itu; sebut saja Krisna Murti, Rocka Radipa, Yana Kraeva (Rusia), Eko Nugroho, dan beberapa perupa saja yang lainnya. Dan tentu saja tidak sedemikian ‘freedom’ pula menempatkan karya para perupa dan desainer dari modern art menjadi sekonyong-konyong contemporary art. Karena teks “Pameran Wayang Kontemporer” ini tidak sejurus dengan contemporary art exhibition yang umumnya diselenggarakan oleh galeri komersial dan museum di Asia Pasifik, Eropa dan Amerika. Istilah wayang ‘kontemporer’ pada pameran ini merupakan sebuah strategi pembedaan taksonomi seni wayang tradisi dan bukan-tradisi. Namun demikian keduanya masih dapat dikatakan sebagai wayang tradisi dengan medium digital.

Oleh karena itu peristilahan kontemporer pada pameran ini tidak merepresentasikan wacana dan karya seni rupa kontemporer yang berkembang sepuluh tahun terakhir ini - kecuali karya Krisna Murti, Rocka Radipa, Eko Nugroho dan M. Tavip, Yana Kraeva dan beberapa seniman. Semestinya memang ada strategi kuratorial dalam pameran ini yang merujuk pada sebuah riset perkembangan seni rupa khususnya komunitas dan individu dari generasi baru yang akrab dengan digital culture dan cyber culture.

Kenapa Wayang? Ada apa dengan Wayang? Saya pikir perlu mempertimbangkan Wayang sebagai jagad tanda-tanda budaya atau sebagai media filsafatnya leluhur di Asia-Afrika yang kini ditinggalkan melalui narasi susastera klasik dan pakem-pakem pertunjukannya.

Saya kira cara penyajian pameran ini bisa lebih mumpuni sebagai sarana pendidikan dunia kepada generasi baru, dimana generasi baru saat ini melihat artefak dan budaya local sebagai budaya lampau –yang kuno. Di dalam suasana euforia digital culture saat ini pameran dengan sub-katagori wayang bukan-tradisi atau “kontemporer” menjadi penanda yang jelas bagaimana generasi muda di tanah air yang teridentifikasi sebagai komunitas, desainer grafis, memanfaatkan digital culture sebagai media untuk mengekspresikan energi kreatif mereka yang ditopang oleh industri visual di era modernisasi yang belum tuntas ini.

Itulah yang terjadi pada karya Andy Tantowi, Is Yuniarto, Isha Anshori, Afif Numbo, Endro Yowono, Bima Nurin Aulia, Sweta Kartika, Lan Kelana, Faisal Azad, Waryanto Jon, Indyra, Zeni Nugroho, Iwan Wiryawan, dan perupa lainnya, bahwa wayang dalam industri kreatif menjadi ruang eksploitasi objek gagasan yang potensial untuk memenuhi digital art industry. Melalui pemanfaatan ikon dari tokoh-tokoh pewayangan yang tentu saja menjadi objek estetis dalam karya mereka. Meskipun memang tidak serta-merta membuat tokoh Hanoman versi Transformer, para perupa dalam pameran ini mengelaborasi bahasa rupa dalam dunia wayang dengan bahasa rupa yang sedang trend saat ini – lagi-lagi dampak importasi desain visual dari Jepang dan Amerika.

Fenomena ini berkembang di luar ruang pameran yang lazim berlangsung di galeri-galeri komersil, karena karya-karya perupa ini cenderung bersifat mass product maka segmentasi apresiator pun di luar apa yang disebut karya seni rupa kontemporer. Fenomena ini tentu saja menarik untuk dikaji lebih lanjut sebagai upaya merangkum perkembangan seni rupa paling mutakhir di tanah air. Bahwa digital culture yang memproduksi digital art dalam wacana new media art sekarang ini sedang digandrungi di kawasan Asia Pasifik sejak tahun 1980-an.

Rocka Radipa, misalnya, karya grafis berjudul “Punakawan” menunjukan bahasa rupa generasi muda yang melihat tokoh wayang sebagai panutan yang merakyat. Tokoh yang tidak birokratis dan tidak high-profile itu dikemas dengan bahasa rupa merakyat dan fiksional. Demikian karya Krisna Murti yang baru-baru ini diresepsi oleh wacana seni rupa kontemporer Indonesia – sebelumnya hanya diresepsi oleh wacana seni rupa di luar Indonesia – menggunakan medium video untuk menghadirkan wayang yang lebih sublim. Kemudian M. Tavip menghadirkan karya ‘Wayang Tavip’ sebagai fenomena menarik di Bandung di domain pertunjukan teater mutakhir. Wayang Tavip mengekplorasi pertunjukan wayang kulit menjadi karya shadow puppet kontemporer karena medium artistik dan narasi yang digunakan merupakan representasi dunia keseharian. Satu lagi yang mewakili karya perupa asing, yaitu Yana Kraeva, seniman fotografi asal Rusia yang tengah belajar di Yogyakarta. Yana mengeksplorasi performance art yang diramu oleh sebuah kolaborasi pertunjukan tradisional wayang yang ada di Indonesia.

Namun perlu dicatat pula bahwa wayang sebagai objek artistik dalam perkembangan seni rupa Indonesia saat ini bukan ‘barang baru’ bagi perupa. Wayang sudah menjadi bahasa artistic tersendiri yang secara parsial atau filosofis mengisi bidang ruang kanvas pelukis. Kita bisa bisa melihat bagaimana apresiasi karya seniman Indonesia di Eropa yang hadir menggunakan bahasa dana subject-matter budaya tradisi Timur – termasuk wayang. Sebut saja Krisna Murti, Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Arahmaiani, Wedhar Riyadi, dan sejumlah seniman lainnya yang mengeksplorasi budaya tradisi Nusantara sebagai subject-matter untuk berdialog dengan perkembangan seni rupa di luar.

Pameran ini secara faktual merayakan keberhasilan sebuah praktik seni yang dilandasi oleh craftmentship yang kuat. Perupa menggunakan medium-medium baru dan digital dalam mengeksplorasi karakter-karakter wayang dan narasi wayang secara parsial. Di dalam prosesnya juga terjadi sinkretisasi visual dimana bahasa rupa pakeliran dipadu-padankan dengan bahasa citraan komik (komik Jepang atau gaya Amerika) sebagai ekses dari percepatan teknologi informasi yang kuat pengaruhnya.

Sejauhmana bahasa rupa seniman dan perupa dalam pameran ini dapat diresepsi sebagai representasi dari perkembangan seni yang lain di luar seni rupa mainstream Indonesia saat ini? Biarkan publik yang memberi makna atas fenomena seni wayang baru di ranah industri visual saat ini. Termasuk apakah ada nilai kebaruan yang ditemukan oleh publik pameran dari karya-karya yang dipajang di Exhibition Hall Bale Pare – Kota Baru Parahyangan, Museum Barli dan kampus ITENAS - Bandung. Selamat berapresiasi.

0 komentar:

Posting Komentar